Indonesia-Australia Forum on Higher Education, Research and Technology 2018, di Melbourne Australia

Indonesia-Australia Forum on Higher Education, Research and Technology 2018, di Melbourne Australia

Ilmuwan Diaspora Indonesia yang tergabung dalam I-4 (Ikatan Ilmuwan Indonesia International) Australia dan IARNA (Indonesian Academics and Researchers Network Australia) bekerjasama dengan Konsulat Jendral Republik Indonesia di Melbourne dan Departemen of Foreign Affairs and Trade (DFAT)-Pemerintahan Australia, mengadakan Indonesia-Australia Forum on Higher Education, Research and Technology (IAF-HEART 2018), minggu lalu pada tanggal 16-18 Oktober 2018. Forum tingkat tinggi yang dihadiri oleh senior leadership dan akademisi dari berbagai universitas di Indonesia dan Australia ini diselenggarakan di Swinburne University of Technology di Melbourne, Australia.

Sekitar 15 universitas dari Indonesia (negeri dan private) dan 10 dari Negara Bagian Victoria berpartisipasi dalam forum ini. Forum ini di buka oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia di Melbourne, Ms Spica A Tutuhatunewa, dan juga dihadiri oleh Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Canberra, Mr Muhammad Imran Hanafi.  Assoc Prof M Akbar Rhamdhani, yang merupakan Deputy Managing Director I-4 Australia yang juga merangkap sebagai President IARNA menyatakan  bahwa forum ini bertujuan untuk menguatkan hubungan yang sudah ada dan membuat link baru untuk kolaborasi riset dan pedidikan tinggi antar universitas di Indonesia dan juga Australia, khususnya di negara bagian Victoria. Forum ini merupakan ajang untuk share best practice, mengidentifikasi tantangan dan juga kesempatan untuk berkolaborasi.

Pada Sesi ke 1, Konsul Jendral Spica Tutuhatunewa memaparkan high level overview hubungan antara Indonesia dan Australia dalam bidang Riset dan Pendidikan Tinggi. Beliau memaparkan bahwa Indonesia merupakan salah satu top innovators among emerging economies, dengan ranking 31 untuk innovation, dan ranking 32 untuk business sophistication. Australia memiliki performa lebih baik dalam area higher education and training (dengan global ranking 9), dan quality of scientific research institutions (global ranking 10). Dr Eugene Sebastian, Director Indonesia-Australia Center, memaparkan tantangan dan kesempatan kolaborasi antar dua negara di sektor pendidikan dengan memberikan contoh kolaborasi di dalam Indonesia-Australia Center, yang merupakan konsorsium riset dari 11 universitas di Indonesia dan Australia.

Pada sesi-sesi berikutnya, presentasi dan diskusi panel diadakan untuk meng-eksplor lebih detail mengenai tantangan, kesempatan dan best practice dari kolaborasi riset dan pendidikan tinggi yang dibagi dalam tiga area: 1) STEM (sains, teknologi, teknik dan matematika), 2) Medikal, Ilmu sosial, Art dan Hukum, dan 3) Bisnis, inovasi dan kewirausahaan.

Pada Sesi 2 tentang STEM, Prof Geoffrey Brooks dari Swinburne mengemukakan area-area kunci yang dapat di kembangkan labih lanjut untuk kolaborasi seperti, mining, minerals processing, extractive metallurgy, wastes stabilization and processing, alternate and renewable energy, automation and advanced manufacturing systems. Beliau juga mengemukakan bahwa salah satu greatest assets dari Indonesia adalah high quality students/human resources. Dr Adi Susilo, Dekan FMIPA di Universitas Brawijaya, memaparkan bahwa Indonesia itu kaya akan resources tetapi juga rentan terhadap bencana alam seperti erupsi gunung berapi, gempa, tsunami, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lain-lain. Dari sisi ilmu, mitigasi dari bencana harus diperkuat dan juga pemetaan area bencana juga diperlukan. Dari sisi teknologi, diperlukan riset di information technology untuk monitoring, mencatat dan mengolah data. Prof Karen Hapgood, Dekan Eksekutif, di fakultas sains, teknik dan linkungan, Deakin University, menyatakan perlunya untuk mendorong wanita untuk mengambil karir sebagai peneliti di bidang STEM. Kolaborasi riset projek harus di arahkan dengan menggunakan hubungan dengan industry dan juga menjawab tantagan global seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, ketahanan cyber, tantangan berkembangnya urbanisasi dan populasi yang menua. Riset kolaborasi harus juga dilakukan secara multi disiplin.

Prof Tim Lindsay, dari University of Melbourne, pada Sesi 3 (tentang hukum) menjelaskan mengenai kolaborasi dengan UIN Syarif Hidayatullah dimana mereka memberikan input mengenai proses mengajar baru, memperbaiki kurikulum dan pedagogi, dengan memparalelkan pengajaran Islam dengan pedagogi pengajaran modern. Dr Jeremy Kingsley dari Swinburne, memaparkan pengalaman projeknya dalam skema New Colombo Plan di mana mahasiswa hukum Swinburne melakukan mobilitas dan pertukaran pelajar dengan Universitas Gadjah Mada. Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih, dari Universitas Airlangga, memberikan pengalaman kolaborasi Universitas Airlangga di dalam konsorsium AIC (Australia-Indonesia Centre). Beberapa keuntungan dari universitas di Indonesia termasuk publikasi bersama dan juga meningkatnya reputasi; dan universitas di Australia memiliki perspektif yang lebih baik mengenai kebijakan, dan hubungan Indonesia-Australia.

Sesi ke 4 pada hari ke dua, digunakan untuk mendiskusikan kolaborasi di bidang bisnis, inovasi dan kewirausahaan. Prof Gillian Sullivan Mort dari LaTrobe University menjelaskan bahwa kolaborasi riset harus difokuskan pada projek yang menciptakan nilai tambah. Prof Edward Buckingham dari Monash University juga menekankan bahwa dalam melakukan riset di innovasi, harus juga melibatkan orang-orang muda dikarenakan inherently mereka lebih berpotensial untuk memberikan innovasi-innovasi baru. Prof Heri Hermansyah dari Universitas Indonesia memaparkan status dan pengalaman universitasnya di bidang kolaborasi internasional dan juga riset. UI merupakan universitas yang memiliki jumlah kerjasama luar negeri terbanyak di banding universitas lainnya di Indonesia.

Pada Sesi penutupan, Assoc Prof M Akbar Rhamdhani, merangkum rekomendasi dan point utama dari diskusi panel dan juga presentasi dalam dua hari tersebut, sebagai berikut:

  • Fokus terhadap deep engagement, bukan hanya fokus pada MoU. Gunakan dan kembangkan inisiatif kolaborasi orang ke orang. Menselaraskan strategi dari institusi masing-masing akan sangat membantu kolaborasi.
  • Fokus riset kolaborasi berdasarkan kebutuhan (demand driven), dalam skala global atau lokal.
  • Mengikutsertakan industri dan pemerintah dalam memberikan dukungan untuk kolaborasi riset.
  • Memanfaatkan skema-skema yang sudah ada yang ditawarkan oleh Kemenristek DIKTI, Australia Research Council, AusAid, Department of Foreign Affairs and Trade Australia, etc.

Salah satu actions dari forum ini adalah untuk menciptakan research consortium multi-universitas dengan melibatkan pemerintah Indonesia dan juga Australia dalam waktu dekat.

Pada hari ke dua dan ke tiga, event ini ditutup dengan kunjungan ke berbagai universitas di Australia dilakukan oleh delegasi dari Indonesia. Ini mencakup Factory of the Future di Swinburne University of Technology, Monash Museum of Art, Monash STAR Lab, dan juga LaTrobe University kampus regional Bendigo.

List universitas yang mengikuti forum:

Indonesia: Universitas Airlangga, Universitas Atmadjaya, Universitas Brawijaya, Universitas Cendrawasih, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hassanudin, Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Padang, Universitas Binus International, Universitas Muria Kudus, Universitas Sanata Dharma, Sekolah Usaha Perikanan Menengah Ambon.

Australia: Swinburne University of Technology, Deakin University, LaTrobe University, University of Melbourne, Monash University, RMIT University, University of Tasmania, Victoria University, Victorian TAFE Association, dan Australia Indonesia Center.

Akademisi Indonesia yang bekerja di Universitas di Negara Bagian Victoria Australia yang tergabung dalam I-4 Australia dan IARNA yang merupakan bagian dari komite penyelenggara Indonesia-Australia Forum. Dari Kiri ke Kanan: Dr Yoga Sembada, Assoc Prof Lyfie Sugianto (Monash), Prof Sen Sendjaya (Swinburne), Assoc Prof Sherah Kurnia (Melbourne University), Dr Eryadi Masli, Assoc Prof M Akbar Rhamdhani (Swinburne), Dr Marthin Nanere (LaTrobe University), Dr Adi Prananto, Dr Mulyoto Pangestu (Monash).

Foto beberapa delegasi Indonesia dengan Konsul Jenderal Republik Indonesia Melbourne Ms. Spica Tutuhatunewa dan juga Atase Pendidikan dan Kebudayan KBRI Canberra Mr. Muhammad Imran Hanafi.

Konsul Jenderal Republik Indonesia Melbourne, Ms Spica Tutuhatunewa, membuka Indonesia-Australia Forum on Higher Education, Research and Technology 2018.

Dr Ouda Teda Ena, Wakil Rektor untuk Kerjasama dan Urusan International dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, memaparkan Universitasnya.

Diskusi Panel di bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) yang diisi oleh Prof Geoffrey Brooks (Swinburne), Dr Adi Susilo (Universitas Brawijaya) dan Prof Karen Hapgood (Deakin University)

Categories: Berita, Kegiatan